Welcome to the Enlightening Idea

The very powerful word combining of media makes it very overwhelming to change of the world

Kamis, 27 Juni 2013

AS Terjegal di Suriah
 Oleh: Fatkurrohman, S.IP,M.Si
  
Stabilitas  politik domestik di Suriah semakin tidak terkendali akhir-akhir ini. Jumlah warga sipil yang tewas akibat tindakan represif pemerintahan Bashar al-Assad hampir mencapai angka 7 ribu orang dan 2 ribu pasukan keamanan pemerintah sejak revolusi melanda Suriah awal Maret 2011. Kondisi ini membuat semua pihak baik di wilayah regional Timur Tengah dan negara-negara Barat menjadi sangat prihatin dan menyesalkan jatuhnya korban yang terus berkelanjutan.
Merespon tingginya angka kematian warga sipil dan keengganan Bashar al-Assad untuk mundur (step down) dari kekuasaannya, maka negara-negara Timur Tengah di bawah lembaga Liga Arab membuat langkah terobosan untuk mengirimkan dewan pengawasnya ke Suriah untuk memonitor secara langsung kondisi di Suriah, tetapi preskripsi dan himbaun dari dewan pengawas tersebut cenderung diabaikan oleh pemerintah Suriah.
Tidak hanya Liga Arab yang bergerak dalam mengatasi masalah di Suriah, tetapi juga AS dengan para sekutunya (Barat) termasuk Uni Eropa telah melakukan banyak cara untuk mengehentikan tirani Assad termasuk didalamnya menggalang resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB. Tetapi, upaya resolusi DK tersebut kandas di tengah jalan karena dua kali diveto oleh Rusia dan China.
Kemudian yang menjadi pertanyaannya adalah mengapa Rusia dan China menjegal langkah AS dalam “menghukum” rezim Assad?.Pertanyaan ini sangat penting untuk didiskusikan karena perimbangan kekuatan (balance of power) di wilayah regional Timur Tengah berjalan secara timpang pasca Perang Dingin (cold war).
Hubungan China dan Suriah secara resmi dibangun pada tahun 1956 dengan ditandai diresmikannya perwakilan mereka di masing-masing negara. Relasi ekonomi dan militer mengiringi hubungan kedua negara yang mengarah pada peningkatan hubungan ekonomi pada tahun 2009 yang mencapai 2.2 milyar dollar AS. Sementara di level militer China aktif membantu Suriah dalam program misil balistik pada tahun 1993 dan 1996.
Sementara hubungan Suriah dan Rusia mulai dirintis pada tahun 1946 ketika Rusia sebagai negara yang pertama kali mengakui kemerdekaan Suriah. Hubungan kedua negara terus mengalamai kemajuan yang signifikan khususnya terkait penjualan senjata Rusia ke Suriah. Data terakhir menunjukkan bahwa Rusia dan Suriah telah menandatangani penjualan pesawat jet tempur seharga 550 juta dollar AS dan peralatan militer senilai 700 juta dollar AS.
Pasca berakhirnya Perang Dingin dengan ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet dan dominasi AS dalam kontestasi politik internasional di penghujung tahun 1989 membuat banyak perubahan dalam sendi-sendi politik global. Perebutan pengaruh yang sangat kental di era Perang Dingin diprediksikan akan mengalami peningkatan pasca revolusi melati (jasmine revolution) yang melanda Tunisia.
Tunisia sebagai pemantik munculnya Arab Spring yang sekarang melanda Suriah memberikan potret bahwa pertarungan pengaruh antara Barat (AS) dengan Rusia dan China tengah berjalan secara ketat. Hal tersebut bisa diindikasikan dengan sikap China dan Rusia yang dua kali melakukan veto terhadapa resolusi yang digalang oleh AS beserta sekutu-sekutunya. Sikap China dan Rusia itu bukan tanpa dasar, tetapi merupakan sikap perlawanan atas dominasi AS khususnya di Timur Tengah.
Perseteruan Rusia dan AS bisa dilacak dari perang dunia maya (cyber war) antara keduanya dan yang paling menonjol adalah penentangan Rusia atas upaya pembangunan sistem pertahanan rudal (anti-ballistic missile defense) yang dibangun oleh AS dan NATO di negara-negara Eropa Timur seperti Polandia, Spanyol, dan Rumania.
Sementara hubungan China dan AS juga setali tiga uang dengan Rusia dan AS yang terus mengalami ekskalasi konflik baik di level perdagangan, politik maupun militer. Pertumbuhan ekonomi China yang meningkat pesat dan isu domestik politik terkait totalitarianism China menjadi sorotan AS. Hal yang tak kalah penting adalah upaya AS untuk menangkal kekuatan militer China dengan rencana pembangunan pangkalan militer di Darwin, Australia.
Untuk meminimalisir pengaruh dan dominasi AS khususnya di Timur Tengah, China dan Rusia bersatu padu untuk menjegal langkah AS dan para sekutunya agar tidak sewenang-wenang dalam menyelesaikan setiap masalah di kawasan yang kaya minyak tersebut. China dan Rusia tidak ingin kecolongan lagi seperti masalah Somalia, Irak, dan Libya. Hal itu telah disampaikan secara jelas oleh Perdana Menteri China Wen Jiabao dan Menlu Rusia Sergei Lavrov.
Dalam hal ini, China dan Rusia tidak memiliki kepentingan minyak atas Suriah karena cadangan minyak Suriah menurut The World Factbook 2011 menempati posisi ke-33 yang jumlahnya sangat sedikit kira-kira 2,500,000,000 (bbl) dan masih kalah jauh jika dibandingkan Arab Saudi maupun Iran yang berada di posisi ke-1 dan ke-4 dunia.
Berpijak dari analisa di atas bisa disimpulkan bahwa kepentingan yang sangat mendasar dari veto yang telah dilakukan oleh China dan Rusia terkait dengan upaya AS dan sekutu-sekutunya untuk mengeluarkan resolusi atas tindakan represif Assad terhadap rakyatnya adalah membendung dominasi AS di Timur Tengah dan upaya kedua Negara tersebut untuk membangun balance of power di Timur Tengah yang terus menggeliat.